CERPEN: "SEBELAH SEPATU"
Masih sangat pagi
ketika aku tiba di sekolah. Hari ini aku memang datang lebih awal untuk membaca
materi pelajaran yang tidak sempat aku lakukan tadi malam. Kesibukan sekolah
belum terlalu. Rumput-rumput hijau di taman sekolah juga masih terlihat begitu
segar dengan embunnya. Di sudut kantor guru, yang terlihat baru sosok Pak
Harun, petugas sekolah yang biasa membuka ruang-ruang kelas.
Kuayun kakiku
dengan santai menuju kelas. Tiba-tiba kakiku terhenti tepat di depan papan bercat
hitam. Lirikan mataku tidak sengaja mengarah pada sebuah kertas berisi
pengumuman lomba lari marathon tingkat SMA yang ditempel begitu rekat di atas
papan itu. Rencanaku untuk membaca materi pelajaran pun akhirnya gagal terlaksana
lantaran tergantikan oleh sehelai kertas di papan pengumuman itu.
Sungguh sangat
tertarik. “Sungguh ini adalah kesempatan emas bagiku,” celotehku dalam hati.
Kemudian kulanjutkan langkah kakiku menuju kelas, karena bel masuk sudah
berbunyi. Belajarku tidak fokus hari ini karena terganggu dengan isi papan
pengumuman yang kubaca tadi. Sederet materi tentang rumus-rumus fisika hanya
kutanggapi dengan lamunan. Tidak ada satu pun yang bersarang di otakku
tiba-tiba saja lamunku pecah oleh bunyi khas bel di sekolahku
Waktu istirahat pun
tiba. Kantin sekolah yang biasa jadi target utamaku di waktu istirahat kini
terabaikan. Aku cepat cepat keluar kelas untuk menemui Pak Handoko, panitia
lomba maraton. Tanpa ragu, aku mendaftarkan diri sebagai salah satu peserta
lomba itu.
“Pak, saya mau ikut
lomba maraton, apa masih dibuka, pak?"
“Oh… iya masih ada
kok, neng,” jawab Pak Handoko.
“Pelaksanaannya
kapan, Pak ?"
“Dua hari lagi.
Kamu sudah siap mengikutinya?” Tanya Pak Handoko
“Iya… Pak, insya
Allah saya siap, “ jawabku dengan penuh antusias.
“Oke, namamu Bapak
daftarkan ya.”
“Iya…
Pak. Terima kasih.”
“Oke, sama-sama”
jawab Pak Handoko
Keesokan harinya,
semua peserta lomba dikumpulkan di lapangan untuk mendengarkan pengumuman
seputar lomba yang akan disampaikan oleh Pak Handoko. Setelah menyampaikan
maklumat, guru dengan ciri khas kaca mata tebal dan kewibawaannya itu
membagikan nomor peserta untuk dikenakan saat lomba.
Hari perlombaan
tiba. Kukenakan sepasang sepatu olahraga berwarna hitam dengan huruf “J” di
sebelah kanan dan huruf “A” di sebelah kiri. Sebuah inisial dari nama lengkapku,
Jelita Annuradah. Tepat pukul enam pagi aku bergegas menuju lokasi perlombaan.
Kutunggu angkutan umum untuk menghemat tenaga. Namun sayang, kendaraan roda
empat yang biasa menghiasi jalan raya itu tidak kunjung muncul. Mungkin karena
masih terlalu pagi. Tanpa pikir panjang, aku putuskan untuk berlari dengan
cepat sampai tepat waktu.
Menempuh jarak dua
kilometer dari rumah menuju lokasi, membuat kelelahan. Dengan nafas yang
terengah-engah, mataku liar melihat sekitar
lokasi lomba masih sepi. Terlihat hanya beberapa peserta saja yang sudah
tiba. Ya, setidaknya aku bisa menyempatkan diri untuk beristirahat.
Perlombaan maraton
segera dimulai. Masing-masing peserta sudah sangat siap. Semua pesesta sudah
menempati posisinya masing-masing peserta sudah sangat siap. Semua peserta
sudah menempati posisinya masing-masing di garis start. Aba-aba diberikan.
Satu… dua… mulai!
Semua peserta
serentak berlari dengan penuh antusias. Namun sayang. Baru awal lomba sapatu
terlepas karena terinjak peserta lain. Tidak mungkin pula aku mengambilnya.
Kalau kupaksakan, bisa-bisa habis aku tertabrak bahkan terinjak-injak oleh
peserta lain. Aku tetap berlari dengan sepatu sebelahnya. Sumpah demi Tuhan,
itu sulit bagiku. Di tengah persaingan, beberapa pertanyaan yang menyerang kepadaku soal sepatu. Bahkan panitia yang
mengikuti peserta dengan sepeda motor bertanya. “sepatumu yang satu kemana”?
Kubalas semua
pertanyaan dengan senyuman, dan tidak aku menghiraukannya. Satu yang ada
dibenakku. Aku harus sampai duluan ke garis finish. Biarkan mereka sibuk
membicarakan dan memperhatikan soal sepatu. Setidaknya, kehilangan sebelah
sepatu kuharap bisa menjadi senjata untuk mencuri konsentrasi para peserta lainnya.
Delapan kilo meter
harus kutempuh. Dengan penuh semangat, kupercepat lariku dengan sedikit
memaksa. Akibatnya, rasa nyeri menyerang telapak kakiku. Sakit sekali. Relung
hatiku berbicara, “aku tidak boleh menyerah, aku harus kuat dan bisa melewati garis
finish.”
Akhirnya, garis
finish terinjak dan terlewati oleh sebelah kakiku yang tanpa alas. Tepuk tangan
meriah pun bergemuruh dari banyak mata yang menyaksikan. Jantungku berdegup
kencang dan senyum merah merona memancar dari bibirku. Tiba-tiba Pak Handoko
menghapiriku untuk memberikan air dan menyuruhku untuk beristirahat, sambil
menunggu peserta lain sampai.
Dua puluh menit
lamanya aku istirahat dan menunggu peserta lain sampai. Tiba-tiba saja pembawa
acara naik ke atas panggung dan memberikan tepuk tangan bersama para penonton
lomba. Tanpa panjang lebar, ia mengumumkan pemenang lomba lari maraton tingkat
SMA yang baru saja usai. Aku terdiam membisu mendengarkan yang telah dibawakan
pembawa acara. Tidak menyangka namaku yang disebut. Air mataku mengalir deras
mewakili rasa bahagia dalam hatiku. Sungguh tidak menyangka, aku pikir ada
peserta lain yang lebih dahulu menyentuh garis finish sebelum aku. Aku pun
melangkahkan kakiku menaiki panggung. Jantungku berdegup kencang menerima penghargaan
yang sangat aku harapkan. Karena ini adalah pertama kalinya aku berhasil menang
dalam perlombaan
Rasa syukur selalu
kupanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tidak lupa aku berterima kasih kepada
kedua orang tua dan guru-guruku disekolah yang selalu menguatkan dengan
dukungan dan doa terbaik.
Usaha yang
sungguh-sungguh, dengan iringan doa, serta keyakinan yang kuat akan membuahkan
hasil yang sungguh baik dan istimewa. Karena di dunia ini tidak ada yang tidak
mungkin jika dilakukan dengan usaha yang keras dan doa yang kuat
Komentar
Posting Komentar